Tuesday, March 10, 2009

aneh...

hampir selama enam bulan hidup di Malang aku nggak pernah keluapaan rasanya satu kata itu

soalnya hampir bisa dikatakan sangat sering aku merasakannya

terutama kalau masalah budaya

emangnya budaya Kalimantan sama Jawa beda banget ya?

iya sih, bisa dibilang begitu...

Pertama soal logat...aku jelas nggak medok Jawa, jadi kadang masih suka lucu kalau ada temenku presentasi di kesal dan medoknya kelihatan banget. Mereka juga ngakunya berpikiran sama. Bahasaku yang lebih lugas bahkan nadanya agak tegas membuat mereka ngerasa cukup aneh dengan itu. duh, gimana kalau kita di luar negeri ya yang beda bahasa luar dalam???

wong beda pulau aja rasanya seperti ketemu bahasa baru. Kalau dipikir-pikir itulah bukti kekayaan Indonesia! tsah...

kedua, selain logat aku juga sering mengucapkan kata-kata yang bagi teman-temanku orang luar Kalimantan lucu. Misalnya sering menyebut "kah?" diakhir pertanyaan. Kalau anak Malang biasanya nyebutnya "tah?" atau "...a?" Terus suka nyebut "..na..." misalnya bilang "yang itu!" aku bilangnya, "itu na..." Begitulah. Selain itu aku juga sering diprotes temanku anak Jakarta kalau aku menyebut "kami" nggak ngerti juga kenapa, tapi menurut dia sih yang benar nyebutnya "kita". Misalnya dalam kata "Kami masuk kelas B" menurut dia harusnya disebut "kita masuk kelas B" alah, nggak ngerti. Tapi lucunya, aku juga mulai ketularan logat anak sini (Malang dan sekitarnya) suka ngomong "rek!"

itu sih soal bahasa...

masih banyak keadaan unik yang patut untuk diceritakan tapi yah..begitulah

ntar..ntar lebih seru sepertinya! 

BRUKKKK…
 Tumpukan kertas itu begitu saja dibanting menghantam meja tepat di depan mata Gusto. Gusto sempat terlonjak beberapa senti dari kursi tempatnya duduk saking kaget menerima respon tersebut. Terlebih lagi dua mata dihadapannya, di sela kacamata tebal dan pasti cukup berat itu, menatap tajam ke arah wajah Gusto yang memang sudah kucel karena faktor aura ruangan benar-benar tidak nyaman. Pengap, dikelilingi buku-buku tebal yang tampaknya sudah jadi koleksi lama yang tersusun rapi pada rak-rak setinggi tiga per empat dinding. Ditambah lagi suplai cahanya yang hanya temaram dari sebuah jendela kecil, itu pun sebagian sisinya sudah terhalang rak buku ensiklopedi tadi.
 Gusto mengutuk diri atas keberadaannya di ruangan itu. Juga mengutuk diri atas proposal pengajuan tugas akhir yang lagi-lagi mendapat sambutan dingin dari dosen pembimbingnya, Bapak. Prof. Dr. Suwonyo, S.Sos. M.Si. 
 “Ini sudah kali ke tiga anda mengajukan proposal,” kata Profesor Suwonyo membuka pembicaraan paling menjatuhkan, paling tidak mengenakkan, paling segalanya yang jelek-jelek seumur hidup Gusto. “Saya merasa anda tidak benar-benar serius melaksanakan tugas akhir ini, proposal yang anda ajukan benar-benar mentah! Tak berisi!”
 Gusto meredam dalam-dalam keinginannya untuk berargumen. Ia tak mau akhir konsultasi ini sama buruknya seperti dua pembicaraan sebelumnya hanya karena sikap terpendamnya yang tidak pernah mau kalah dan dianggap salah.
 “Semestinya di tahun ke tujuh ini, anda sudah bisa memikirkan dengan baik tentang tugas akhir anda. You lost your time. Anda hanya akan menjadi salah satu bagian dari jutaan manusia bergelar yang tak punya kontribusi apa-apa. Skripsi bukan hal yang main-main, asal anda tau. Kalau anda hanya ingin mendapatkan kerja, anda tidak perlu menghabiskan tujuh tahun anda di universitas ini,” Profesor Suwonyo berkomentar.
 Gusto sadar betul kalimat tadi adalah sindiran telak baginya. Ia memang menyandang gelar mahasiswa abadi selama ini. Sudah banyak orang yang mempertanyakan kapan hari wisudanya, terlebih lagi keluarganya di Samarinda. Tujuh tahun selepas SMA di tanah rantau, bukan semata-mata ia tujukan untuk menuntut ilmu. Ia malah lebih tertarik mencari penghidupan di kota metropolitan ini. 
Dan ia salah besar. Pekerjaan telah membuatnya lupa akan keasyikan kuliah. Inilah hasilnya, sebentar lagi, hampir tujuh tahun waktu ia habiskan sebagai mahasiswa Universitas Indonesia. Status yang sangat baik di pandangan masyarakat, apalagi masyarakat kampung halamannya. Namun, terlalu lama status itu disandang, juga tidak mengenakkan sepertinya.
“Saya harus bagaimana, Pak? Untuk itulah saya berkonsultasi kepada Bapak. Inilah hasil terbaik yang saya bisa, saya juga bukan orang bodoh yang ingin selamanya menjadi mahasiswa. Lagipula…” Gusto buka suara. “Saya yakin Bapak juga sudah cukup bosan menunggu saya memakai toga, bukan?” 
“Sangat bosan!” tandas Profesor Suwonyo. Gusto bungkam. Ternyata gurauannya untuk sedikit mencairkan suasana barusan gatot alias gagal total. Profesor Suwonyo masih seperti mayat hidup yang kaku. Sayangnya, mungkin dulu, dia kaku pada saat yang tidak tepat, saat wajahnya sedang malas tersenyum hingga terlihat begitu menakutkan seperti sekarang.
“Ambil itu, saya masih memberi anda satu kesempatan lagi untuk mengajukan proposal. Jika hasilnya masih sama, saya tidak bisa jamin anda benar-benar bisa memakai toga di universitas ini,” ucap Profesor Suwonyo sembari memicingkan mata sekilas ke arah tumpukan proposal pengajuan tugas akhir ketiga Gusto.
Wajah Gusto memerah, bukan karena marah, tapi karena ancaman barusan sangat mengusik hati nuraninya sebagai penuntut ilmu. Gusto sungguh tidak ingin waktu tujuh tahunnya berlalu sia-sia dan malah menghasilkan status drop out. Apa kata dunia?
“Saya tidak mengerti opini Bapak. Saya rasa, proposal ini sudah sangat menarik. Bahkan belum pernah dibahas di jurnal mana pun. Ini adalah rencana yang sudah sangat matang saya pikirkan. Apa kesalahan proposal ini? Ini hanya kerangka pikiran, gambaran kasar, tentu belum terlalu matang karena saya belum melaksanakan observasi langsung,” Gusto mulai panas tiba-tiba. Ia ingin mengadu argumen dengan pria berumur 63 tahun itu. 
Sebenarnya, tidak salah kalau Gusto menganggap proposalnya sudah memenuhi syarat. Gusto bukan mahasiswa bernalar rendah untuk menghasilkan karya yang bermutu. Ia sungguh tidak habis pikir. Ia sudah malas memutar otak lagi hanya untuk memenuhi kemauan Profesor di hadapannya ini. 
“Temui saya minggu depan,” ucap Profesor Suwonyo pendek.
Gusto mendelik. Hampir saja amarahnya memuncah kalau tadi dia tidak ingat ayahnya (yang notabene hanya berbeda usia sedikit lebih muda dari Profesor itu). Gusto hanya mengulum kata-katanya dalam perangkap dua bibirnya yang ia cegah untuk dibuka. Kepalan tangannya yang tanpa sadar menguat juga belum seratus persen bisa menurunkan kejengkelannya.
“Saya tunggu Kamis siang, di sini.”
Titik. Usiran halus yang membuat Gusto makin panas dingin. Gusto mengambil proposal tugas akhir buatannya dengan kasar, lantas segera berdiri, bersiap untuk segera keluar.
“Permisi Pak, terima kasih,” ujarnya tidak selembut biasa terhadap dosen. 
Profesor Suwonyo mengawasi gerak mahasiswa asuhannya itu hingga tubuh Gusto telah benar-benar tak terlihat dibalik pintu. Ia lantas mengambil sebuah map dari tumpukan arsipnya yang tak tertata rapi. Sejenak, ia membolak-balik lembaran-lembaran di dalam map itu, lantas memperhatikan dengan seksama ketika pandangannya menemukan data yang ia cari.
Data itu tentang prestasi akademik seorang mahasiswa bernama Agusto Meridian Noor. Seorang mahasiswa yang bertemu dengannya beberapa waktu dulu di kelas. Mahasiswa yang sebenarnya ia anggap berpotensi, dan memiliki pemikiran yang ia sukai.
Ia sangat suka ketika di kelas, Agusto memulai perdebatan tentang apa pun yang menjadi topik kuliah. Ia seperti manusia kehausan ilmu. Tak pernah berhenti bertanya dan menggugat sebelum ia berhasil menemukan kepuasan, membuat dosen gelabakan menalar pertanyaan, atau membuat kelas menggantung hingga jam kuliah habis hanya untuk meladeni sikap kritisnya.
Anak rantau dari Kalimantan itu, telah menggores kesan baik sebagai warga pendatang di pandangan Profesor Suwonyo. Membuat sang profesor meyakini kualitas manusia pulau di luar Jawa juga tidak bisa diremehkan. Masih mungkin dibandingkan dengan keunggulan daerah yang lebih maju seperti Jakarta.
Namun, kekaguman itu hanya bertahan selama dua tahun awal. Pada tahun-tahun berikutnya, mahasiswa cerdas itu seperti menghilang dan langka menyetor muka di kampus. Beberapa kabar menyebutkan, anak muda itu telah berhasil memperoleh pundi kehidupan yang lumayan, sehingga ia lebih mementingkan bertahan hidup ketimbang kuliah.
Sampai beberapa bulan yang lalu, Profesor Suwonyo cukup kaget melihat wajah lama itu kembali muncul di kampus. Terlebih lagi mendengar bahwa ia berniat menyelesaikan kuliahnya yang telah menggantung selama dua tahun ke belakang. Ia merasa tertantang, untuk sekali lagi melihat kecerdasan anak rantau itu. Dan sekarang, anak itu telah berada dalam genggamannya. Tak mungkin ia lepaskan semangat berilmu yang dulu itu. Ia akan mencari lagi, ia coba sekali lagi.

₪ ₪ ₪