Tuesday, November 24, 2009

"Bloggers @ MarkPlus Conference 2010"

New Wave saat ini memang dapat dikatakan sebagai way of life.
Beberapa tahun belakangan menjadi masa keemasan bagi konektor sosial yang selama ini dianggap “tabu” bagi masyarakat Indonesia khususnya. Jika dulu untuk mengutarakan perasaan kepada seorang gadis secara blak-blakan saja dianggap sangat berani menantang norma, sekarang bahkan banyak orang jauh lebih berani menampilkan perasaannya. Termasuk profil diri secara publik dalam berbagai situs jejaring sosial. Kolom status dalam facebook sebagai contohnya.
Munculnya Facebook, Twitter dan berbagai situs jejaring sosial lain menjadi media “pengubah” kepribadian manusia. Seseorang yang biasanya pendiam, bisa menjadi sosok yang sangat atraktif ketika larut dalam Facebook, rajin meng-upload foto, mengetik comment di wall teman-temannya, atau mungkin menambah friend meski hanya untuk berkenalan. Bagaimanapun “virus” jejaring sosial memang jauh lebih ampuh dan lebih cepat penyebarannya dibanding gembar gembor virus flu burung. Contohnya saya alami sendiri. Saya termasuk rajin “mengintip” layar laptop rekan-rekan saya yang banyak surfing memanfaatkan area hot spot di kampus. Hampir semua laptop yang saya lirik pasti menampilkan wall berwarna biru dan putih khas Facebook. Bahkan saat presentasi di kelas, saya juga iseng melirik layar laptop milik dosen yang terbuka di meja, dan yang saya lihat, lagi-lagi Facebook, YM, Twitter dan sebagainya.
Ini merupakan contoh nyata bagaimana zaman New Wave mulai menjadi bagian hidup kita. Internet menjadi sebuah dunia virtual yang bisa kita jadikan utopia (negeri impian) kita, untuk menghindar dari penatnya menjalani kehidupan sehari-hari yang makin memusingkan. Namun, selain menjadi utopia, jaringan ini juga bisa menjadi medium isu yang juga sangat cepat penyebarannya.
Sebut saja isu kiamat 2012 yang baru-baru ini santer diberitakan. Hmh, saya jadi ingat bagaimana rekan-rekan saya sibuk mengetikkan keyword kiamat 2012 atau akhir zaman 2012 atau ramalan suku maya dan sebagainya, di mesin pencari google. Dan akhirnya muncullah list panjang yang berkaitan dengan keyword tersebut. Atau mungkin kita ingat, beberapa waktu lalu ketika heboh lagu Gaby? Lebih dari dua bulan media asyik membahasnya, bahkan hingga saling bertarung opini ahli untuk menguatkan spekulasinya tentang sosok Gaby. Darimana semua itu bersumber? Mengapa sesuatu itu menjadi wah dan sangat menarik untuk diperbincangkan, apa sebabnya? The virtual reality is the answer.
Zaman New Wave merupakan suatu paradoks. Dunia itu maya, namun ada dalam sebuah kenyataan. Dan saya percaya, sesuatu yang absurd lebih nyaman dan mudah diterima seseorang. Arredondo dalam bukunya Communicating Effectively menyatakan “perception is more powerful than fact.” Alasannya, karena mimpi itu selamanya indah. Dan dunia virtual adalah dunia mimpi (baca: maya) yang menggiring kita memasuki zaman baru yang disebut New Wave. Saya percaya akan kekuatan mimpi, itulah mengapa saya percaya bahwa konektor sosial dan berbagai item dalam virtual reality (realitas virtual: kenyataan yang sebenarnya maya) ini memiliki kekuatan yang sangat besar untuk memengaruhi seseorang agar duduk, diam, mendengarkan, dan memelototi layar dalam waktu yang lama plus menuruti gaya hidup yang berkembang didalamnya. Bahkan dosen saya yang paling menyenangkan pun, tidak akan mampu membuat seluruh kelas yang terdiri dari enam puluh kepala melakukan hal itu. namun virtual world, mampu melakukannya.
Dari penalaran singkat di atas, saya percaya, suatu saat nanti virtual world akan benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan mungkin di masa yang akan datang, dunia kita akan “bermigrasi” seluruhnya ke zaman baru yang disebut the new wave ini, who knows?

Sunday, November 22, 2009

Jangan jadi Bangsa Paranoid gara-gara Film 2012!

Di sisi lain, saya cukup memberi perhatian pada “saran” pencekalan film 2012 di Indonesia dan khususnya MUI Malang yang sudah lebih dulu mengambil sikap. Sesungguhnya, kalau kita melihat dari kacamata masyarakat sebagai receiver informasi, menurut saya media massa merupakan pihak yang lebih bertanggung jawab akan kekhawatiran terjadinya ketakutan dan syirik di masyarakat. Bukan semata gara-gara sebuah film. Mengapa?
Coba saja tengok, berapa kali dalam satu minggu anda melihat, mendengar atau membaca berita tentang ramalan kiamat dan berbagai spekulasinya? Atau ada berapa list artikel tentang kiamat dan ramalan suku Maya yang muncul saat anda mengetikkan keyword itu di google?
Kalau saya pribadi, lebih dari lima kali dalam seminggu saya menonton program di televisi yang menyiarkan pembahasan tentang prediksi kiamat 2012. Setidaknya menyentil masalah itulah. Tadi sore (22/11/09) saya juga sempat menonton televisi, bahkan di sebuah program infotanment, disiarkan “berita” investigatif tentang kiamat. Ngerinya, di infotainment itu ada satu pernyataan dari sang narator yang secara tersirat saya tangkap. Intinya, ia mempertanyakan kepada pemirsa: “bagaimana nasib manusia ketika Indonesia tenggelam dimakan ketinggian air laut yang hampir melebihi daratan?” Tak lupa ia juga membeberkan berbagai fakta yang entah dihimpun darimana untuk membuat suasana menjadi semakin mencekam.
Salah satu program infotainment juga pernah menyampaikan ramalan dari salah satu peramal terkenal di Indonesia yang mengatakan bahwa ia—peramal tersebut—tidak bisa lagi menerawang kejadian setelah 2012, yang secara tidak langsung ditangkap masyarakat bahwa pada saat itu akan benar-benar terjadi kiamat. Selian itu, juga ada komentar ahli LAPAN yang menyiratkan persetujuan akan akhir dunia pada 2012 dengan alasan dari bidang astronomis yang sangat deklamatis. Ck..ck..ck..
Bagaimana masyarakat tidak resah? Jika setiap waktu mereka disuguhi spekulasi dan berita-berita “menarik” tentang kelanjutan isu kiamat. Tak heran, setiap informasi tentang kiamat menjadi bahan yang wajib untuk disimak. Di program acara lain (kali ini program berita) bahkan beberapa kali sempat dibahas tentang adanya tanda-tanda kiamat dan berbagai kejadian (menurut saya memang sudah sering terjadi sejak zaman dahulu kala) yang agaknya disangkutpautkan dengan heboh spekulasi kiamat 2012, contohnya berita jatuhnya meteor di Sulawesi Selatan.
Dari sini, kita bisa menilai, sebenarnya apakah tepat jika kita menutup mata akan keadaan seperti ini? Kita meributkan hadirnya film gawean Barat karena takut masyarakat Indonesia paranoid atau mungkin Syirik, sementara anak negeri kita sendiri, di media yang paling banyak dikonsumsi masyarakat yaitu televisi dan internet, dengan gamblang mencekoki kita berbagai ulasan tentang ke-parno-an itu. Saya harap, kita bisa lebih mafhum dan lebih pandai memilah program yang sesuai dengan keyakinan kita. Dan tentunya kita percaya bahwa bangsa Indonesia, khususnya kaum muda Indonesia bukanlah manusia penakut dan lemah yang parno hanya karena sebuah isu yang tak bisa dijamin kebenarannya!

“Demam” kiamat, 2012 jadi Primadona

Film 2012 belakangan jadi primadona di bioskop-bioskop seantero dunia. Film yang mengangkat tema terjadinya mahabencana yang melanda bumi pada tahun 2012 langsung menjadi incaran pecinta film, bahkan orang-orang yang hanya sekedar penasaran akan film 2012. Film ini konon menceritakan visualisasi kiamat di muka bumi ini. Beberapa minggu terakhir memang pantas film 2012 dijuluki the most wanted, terlihat dari posisi yang merajai box office dan meraup keuntungan lebih dari $400 juta.
“Demam” film 2012 juga melanda masyarakat Indonesia. Antrian panjang terlihat di counter-counter bioskop yang menjual tiket film 2012 di seluruh pelosok negeri. Entah berapa kali saya mendengar keluhan rekan-rekan saya karena lagi-lagi harus menelan kekecewaan gagal menyaksikan film besutan sutradara “spesialis” film science fiction, Roland Emerich itu. “Udah ngantri dari jam sembilan, pas udah di depan counter eh ternyata mbanya bilang cuma sisa yang midnight,” cerita salah satu rekan dari Universitas Merdeka Malang.
Semangat masyarakat untuk menyaksikan film 2012 turut menghadirkan kekhawatiran berbagai pihak akan terjadinya salah persepsi dan ketakutan publik tentang datangnya kiamat. MUI kota Malang beberapa waktu lalu mengeluarkan maklumat agar masyarakat tidak menonton film 2012 karena ditakutkan akan membuat syirik. Senada dengan itu, saya juga mendengar desas-desus akan ditariknya film 2012 dari seluruh bioskop di Indonesia.
Sebenarnya agak riskan kalau kita menghakimi film 2012 sebagai momok yang dapat menciptakan para musyrikin baru dan manusia penakut di negeri ini. Apalagi jika dibarengi berbagai tindakan anarkis sebagai bentuk kemarahan umat akan hadirnya film 2012. Bagi saya (yang sudah pernah menonton film tersebut) film 2012 adalah film yang tak berbeda dari film fiksi lain seperti The Day After Tomorrow karya sutradara yang sama. Jika dalam TDAT kehancuran peradaban dikarenakan datangnya zaman es baru akibat pemanasan global, film 2012 menceritakan berakhirnya peradaban karena pergeseran lempeng bumi yang menciptakan tsunami besar. Keduanya menghadirkan tema yang sama, yaitu kehancuran peradaban manusia karena kekuatan alam. Hanya saja dengan sudut pandang yang berbeda. Lantas mengapa 2012 begitu fenomenal dan meresahkan sebagian masyarakat?
Pertama, mungkin karena berlatarbelakang ramalan suku Maya. Suku di Amerika Tengah yang selama ini dipercaya memiliki peradaban tinggi apalagi soal ramal-meramal. Itulah yang mungkin menjadi dasar kekhawatiran komunitas agama seperti MUI yaitu akan membuat syirik—percaya pada ramalan alias tidak percaya kepada kekuasaan Allah—karena menonton 2012. Kedua, kesalahan terbesar dalam film Roland Emerich ini adalah mengangkat judul 2012 untuk melabeli karyanya.
Seperti yang saya bicarakan sebelumnya, sebenarnya film ini tidaklah berbeda dengan TDAT. Namun karena judulnya sudah kontroversial, jadilah publik semakin penasaran dengan film ini. Satu lagi yang saya herankan, yaitu waktu rilis film ini yang sangat pas dengan gembar-gembor ramalan kiamat suku Maya. Seingat saya, ramalan ini baru mencuat di media pada setengah tahun terakhir. Semoga isu ini bukanlah semata spot iklan untuk mendongkrak film 2012.

Monday, November 9, 2009



Aku tidak menunggu
senyum di langit senja menggantung harapku
Aku tidak menunggu
kebisuan yang mengikat membuatku bingung sendiri
Aku tidak menunggu
gelas-gelas pecah ketika kusampai pada saat rindu ku ingin memuncah
Bisu itu..
Rindu itu..
Senyum itu..
Seperti air laut yang tak pernah melegakanku
Asin, keruh, gatal, membuatku keranjingan ingin menggaruk
namun sayangnya itu adalah sebuah rasa yang abstrak
Dan kini
Ketika senja telah mengintipku penuh curiga
Di sudut lain menertawakan kebodohanku
Aku tetap di sini
Aku menunggu rasa abadi itu menjemputku

***

Ia bermain-main sendiri
Termenung dalam hantu kecintaan yang semu
Yang ia takuti, namun terlalu indah tampaknya untuk terlewati
Rasa itu menggoyang pusat otaknya
Menebalkan urat malunya
Membekukan darahnya dalam suatu waktu tertentu
Sungguh